Dulu Pemulung, Nenek Penyapu Jalan Berkurban Seekor Sapi dan Kambing

Sumiati saat menyerahkan hewan kurban kepada pengurus Langgar AN Nur Tenggarong
(Foto: Pepen Joesoef)

Keriput di wajah perempuan tua itu adalah kisah hidupnya. Kisah hidup seorang perempuan yang tegar dalam menjalani pilihannya dan takdir Rabb nya. Nek Nok, begitu nenek itu biasa dipanggil oleh orang-orang yang mengenalnya, adalah ibu dari 4 orang anak laki-laki yang sangat mencintai dan menghormatinya. Nek Nok lahir pada tahun 1949, bersekolah hingga kelas 2 SD, nenek dari 5 orang cucu dari 3 anaknya. Wajahnya tenang, menggambarkan kepolosan dan prasangka baiknya pada sesamanya, seorang pemaaf.

Nek Nok tinggal di dalam Kawasan Pasar Seni, di jantung Kota Tenggarong. Kota kecil ini dialiri Sungai Mahakam yang panjangnya hampir 1000 kilometer, merupakan ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara. Di kota itu juga berdiri Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang megah, karenanya dijuluki juga sebagai Kota Raja.

Dulunya Nek Nok tinggal di kawasan Tanjung yang mempertemukan Sungai Mahakam dan Sungai Tenggarong yang membelah kota. Tanjung adalah Kawasan urban yang banyak dihuni oleh para perantau dari banyak daerah, sebuah kawasan multikultur di jantung kota Tenggarong yang asri.

Idhul Adha tahun ini sungguh berbeda bagi Nek Nok. Setelah 15 tahun hidup dalam kesederhanaan dan berusaha keras untuk menabung, lebaran kali ini Nek Nok berhasil menunaikan niatnya untuk berkurban seekor sapi yang gemuk. Harganya 18 juta rupiah, diturunkan 2 juta rupiah oleh penjualnya setelah tahu perjuangan Nek Nok.

Selain itu dibelinya seekor kambing yang gemuk seharga 4,7 juta rupiah yang diniatkan untuk makan bersama dalam acara haul kedua orang tuanya. Sebelum ditunaikan niatnya, dikumpulkannya anak-anaknya dan mereka pun mendukung niat baik ibunya. Anak keduanya pun menghubungi kenalannya yang saat ini berdagang hewan kurban.

Saat ditanya apa yang mendorongnya berkurban begitu banyak, dijawabnya itu nasehat dari ibunya. “jika diberi umur panjang, banyaklah bersedekah dan beramal pada sesama. Di akhirat yang ditimbang adalah amal baik dan dosa”. Nasehat itu selalu ada dalam ingatannya. Sungguh lama dan sulit Nek Nok mewujudkan niatnya. Dalam himpitan ekonomi dirinya dan anak-anaknya, terkadang uang tabungannya terpakai juga untuk urusan darurat dan untuk beli obat.

Orang tua Nek Nok adalah seorang petani dan kyai, menjadi imam sholat dan seorang guru ngaji di Jember. Dalam kenangannya digambarkan Bapaknya adalah orang tua yang sabar dan lembut. Diingatnya Bapaknya sering menjamu jamaah di masjid dengan membuat masakan dari biaya pribadinya.

Sumiati adalah nama pemberian orang tuanya yang berasal dari Batu Urip, Jember di Jawa Timur. Usia 14 tahun dia dinikahkan orang tuanya dengan seorang lelaki sesama sukunya, orang Madura. Dari pernikahannya dia mendapatkan 4 orang anak, dan semuanya meninggal.

Mereka bercerai dan Nek Nok bekerja di perusahaan perkebunan teh di wilayah Gunung Gambir Kabupaten Jember. Bekerja di perkebunan teh hanya bertahan 6 bulan karena upahnya tidak memadai dengan beratnya beban kerjanya. Nek Nok pun merantau ke Surabaya, bekerja di Kawasan Ampel Maghfur, bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Arab. Namun 6 bulan kemudian dia dijemput keluarganya dan dibawa pulang kembali ke Jember.

Tahun 1978, seorang diri Nek Nok merantau ke Tenggarong. Tiga bulan di kota itu, di pasar Tangga Arung dia bertemu dengan seorang lelaki Banjar yang kemudian menikahinya. Mereka punya 5 orang anak, namun anak ketiga, satu-satunya anak perempuannya meninggal. Anak lelaki yang pertama bernama Haryono, 41 tahun. Dari anak sulungnya nama Nenek Nonok disematkan.

Haryono bekerja sebagai tukang bangunan. Anak keduanya Heru Madianto, usianya 38 tahun dan bekerja sebagai tukang parkir. Pada anak keduanya Nek Nok sering minta pendapat dan minta dipijat jika kelelahan atau minta diantar berobat. Anak ketiganya Rahmat, 25 tahun, bekerja sebagai sopir pada juragan ikan di Samarinda dan belum menikah. Anak bungsunya Juhri, berusia 22 tahun, tinggal dan bekerja di Kota Samarinda sebagai pedagang pisang di Pasar Segiri.

Awal kehidupannya di Tenggarong tidaklah mudah. Saat anak-anaknya masih kecil Nek Nok bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dalam himpitan ekonomi saat itu, diapun pernah menjadi pemulung barang-barang bekas dan kardus. Dia tidak malu melakukannya, yang ada dipikirannya adalah menjaga rezekinya senantiasa halal juga berkah. 

Sehari-hari Nek Nok berjualan kelontong dengan rombong kecilnya, hingga saat ini. Dia berdagang gula, kopi, teh, permen, minuman energi. Dulu dia berjualan di sisi tepi Sungai Mahakam, dekat Toko Terang. Seiring penggusuran kawasan Tanjung dan tepi Sungai Mahakam di jantung kota, Nek Nok berjualan di dalam kawasan Pasar Seni, karena tempatnya berdagang menjadi jalan raya yang sibuk.

Keriput wajahnya adalah cermin kerasnya usaha dan tekadnya untuk bertahan hidup. Sejak tahun 2000 Nek Nok bekerja sebagai pasukan kuning yang bertugas sebagai penyapu jalanan. Wilayah kerjanya di depan Pasar Seni, kawasan yang ramai lalu lintas. Pernah disaat shubuh dia diserempet motor pada tulang iganya. Pengendara itupun melarikan diri tanpa menolongnya. Namun Nek Nok tidak marah dan menduga orang itu sedang terburu-buru untuk melakukan sesuatu yang penting, tak ada prasangka buruknya.

Pernah juga Nek Nok diserempet mobil, sikapnya tetap sama, tidak marah, berprasangka baik dan langsung memaafkan. Tahun 2020 awal, wilayah kerja Nek Nok pun berubah, dekat Gedung Juang, berseberangan dengan wilayah ex Tanjung, tak jauh dari Pasar Seni. Awal bekerja sebagai pasukan kuning gajinya sebesar 150 ribu perbulan dan sekerang menjadi sekitar 2,2 juta perbulan.

Saat kawasan Tanjung digusur, Nek Nok mendapat ganti rugi sebesar 59 juta rupiah. Dibelinya sebidang tanah di kawasan jalan Mangkuraja sebesar 20 juta, juga bahan bangunan. Anaknya yang mengerjakan rumahnya. Kini rumah itu dihuni anaknya. Nek Nok tetap tinggal di dalam kawasan Pasar Seni, dalam bangunan non permanen yang menjadi satu dengan lapak dagangannya.

Saat proyek penggusuran dilaksanakan, juga pada saat pasca jembatan runtuh, dagangan Nek Nok laris oleh pekerja proyek dan orang-orang yang hendak menyeberang. Meski demikian, tetap saja ada orang yang berhutang dan menipunya. Dan selalu dimaafkannya.

Kepolosan dan sifatnya untuk selalu berprasangka baik membuat Nek Nok sering ditipu. Di tahun 2018 kemarin seseorang menawarinya tanah seluas 2 hektar di kawasan Loa Kulu seharga 7 juta rupiah. Ternyata tanah yang ditawarkan ke Nek Nok adalah tanah milik perusahaan dengan surat tanah palsu. Padahal untuk membeli tanah tersebut Nek Nok menjual perhiasan emasnya seberat 20 gram, yang saat menjualnya pun ditemani orang yang menipunya. Nek Nok pun tetap bersabar, “Gak apa-apa, beridhaan saja,”ujar Nek Nok.

Sering Nek Nok memberi hadiah perhiasan emas untuk anak cucunya. Pada anak-anak tetangganya Nek Nok sering membagi uang dan permen. Kawasan dalam Pasar Seni pun bersih meski bukan menjadi area kerjanya. Tidak bisa dilihatnya rumput yang tinggi, juga kebersihan di dalamnya. Nek Nok memang seorang perempuan yang energik. Terkadang dia berolah raga lari pagi di trotoar di dekat pasar seni.

Anak-anak Nek Nok menyadari ibunya semakin tua, harus banyak waktu untuk menikmati hidupnya. Anak-anaknya meminta Nek Nok untuk berhenti bekerja, namun tidak digubrisnya. Tidak dirasa nyaman badannya tanpa bekerja dan olah raga, ujarnya.

Sore ba'da Asar hari ini Nek Nok menyerahkan seekor sapi kepada panitia kurban di musholla An Nur, satu-satunya bangunan yang masih utuh dan berfungsi di kawasan ex Tanjung. Musholla itu dan kawasan Pasar Seni adalah pengikat warga ex Tanjung, para warga urban yang solidaritasnya tetap terjaga secara fisikal dalam pertemuan-pertemuan keagamaan dan pesta hajatan, atau di warung kopi. Mereka tetap menjalin hubungan, tetap berkabar, juga dengan gadget. Kawasan urban kota yang dulu dianggap kumuh, terbukti melahirkan manusia berkualitas seperti Nek Nok, sosok sederhana yang berusaha bermanfaat bagi sesamanya. (pj)

Penulis: Pepen Joesoef

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top